

Jawapostnews.co id, Kewajiban Mediasi
Pada dasarnya, semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan—termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap—wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan berikut:
1. Pasal 130 HIR / Pasal 154 RBg
2. Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
3. PERMA No. 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik
Mediasi yang Dikecualikan
Namun demikian, kewajiban mediasi dalam penyelesaian sengketa perdata tidak bersifat mutlak. Terdapat sejumlah pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016, yakni:
1. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya, antara lain:
– Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga
– Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial
– Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
– Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
– Permohonan pembatalan putusan arbitrase
– Keberatan atas putusan Komisi Informasi
– Penyelesaian perselisihan partai politik
– Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana
– Sengketa lain yang secara khusus diatur tenggang waktu penyelesaiannya dalam peraturan perundang-undangan
2. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut
3. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga (intervensi)
4. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan, dan pengesahan perkawinan
5. Sengketa yang telah diupayakan penyelesaiannya di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator bersertifikat yang terdaftar di pengadilan setempat, namun dinyatakan tidak berhasil dengan adanya pernyataan yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator bersertifikat
Salah Kaprah Penerapan Pengecualian Mediasi
Dalam praktik, masih sering ditemukan salah kaprah di kalangan majelis hakim dalam menafsirkan kewajiban mediasi. Salah satu contoh adalah ketika gugatan melibatkan pihak penggugat, tergugat, dan turut tergugat, tetapi yang hadir di persidangan hanya penggugat dan turut tergugat.
Merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016, seharusnya perkara semacam ini termasuk dalam kategori sengketa yang dikecualikan dari kewajiban mediasi. Namun kenyataannya, ada majelis hakim yang tetap memaksakan dilakukan mediasi hanya antara penggugat dan turut tergugat, dengan dalih bahwa mediasi bersifat wajib atau mutlak.
Yang lebih memprihatinkan lagi, mediator non hakim yang ditunjuk dalam perkara tersebut justru ikut membenarkan pelaksanaan mediasi tersebut, tanpa menegaskan batasan hukum yang berlaku.
Kesalahan dalam menafsirkan kewajiban mediasi dapat berdampak pada tidak efisiennya proses peradilan serta melanggar asas keadilan prosedural. Diperlukan pemahaman yang utuh dan konsisten dari para pihak, khususnya majelis hakim dan mediator, terhadap ketentuan hukum yang mengatur mengenai mediasi, termasuk pengecualiannya. Tanpa hal ini, mediasi yang seharusnya menjadi sarana damai justru menjadi prosedur formalitas yang dipaksakan.
Editor: Ismail
