

Jawapostnews.co.id — Praktik mediasi dalam perkara perdata di pengadilan kembali menjadi sorotan. Seorang advokat dan mediator non-hakim bersertifikat, Adam Maulana, S.H., CPM., mengkritisi adanya dugaan kesalahan dalam penerapan kewajiban mediasi oleh sejumlah majelis hakim. Menurutnya, masih banyak hakim yang memaksakan jalur mediasi dalam perkara-perkara yang seharusnya dikecualikan, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam keterangannya, Adam menegaskan bahwa tidak semua perkara perdata wajib menjalani mediasi. Meski secara umum mediasi merupakan tahapan wajib dalam penyelesaian sengketa perdata — sebagaimana tertuang dalam Pasal 130 HIR/154 RBg, PERMA No. 1 Tahun 2016, dan PERMA No. 3 Tahun 2022 — namun terdapat pengecualian tertentu yang telah diatur secara jelas.
“Banyak yang masih keliru menafsirkan. Beberapa jenis perkara secara eksplisit dikecualikan dari kewajiban mediasi,” ujar Adam. Ia merujuk pada Pasal 4 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016 yang mengatur pengecualian terhadap perkara-perkara tertentu, termasuk perkara yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu seperti perkara niaga, hubungan industrial, arbitrase, hingga gugatan sederhana.
Adam mencontohkan sebuah kejadian yang menurutnya menunjukkan bentuk salah kaprah dalam penerapan mediasi. Dalam suatu perkara, hanya penggugat dan turut tergugat yang hadir di persidangan. Berdasarkan regulasi, perkara semacam ini semestinya tidak perlu melalui tahapan mediasi karena tergugat utama tidak hadir meski telah dipanggil secara patut. Namun, majelis hakim tetap memaksa agar dilakukan mediasi antara pihak yang hadir.
“Ini bentuk kekeliruan yang sangat nyata. Apalagi ketika mediator non-hakim yang ditunjuk justru mengiyakan dan melanjutkan proses mediasi, padahal secara hukum tahapan itu tidak sah,” jelas Adam.
Ia menambahkan, kondisi seperti ini menciptakan preseden buruk dalam sistem peradilan dan berpotensi merugikan para pencari keadilan. Menurutnya, pemaksaan mediasi bukan hanya tidak sesuai dengan ketentuan hukum, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang sedang berperkara.
“Mediasi itu sarana penyelesaian damai, bukan kewajiban mutlak tanpa melihat pengecualian. Kalau ini terus dibiarkan, maka tujuan mediasi sebagai instrumen efisiensi dan kedamaian justru menjadi alat pemborosan waktu dan energi,” tegasnya.
Sebagai penutup, Adam berharap Mahkamah Agung maupun lembaga pengawasan peradilan bisa memberikan pembinaan lebih lanjut kepada para hakim dan mediator agar lebih memahami konteks dan batasan dalam penerapan mediasi. Ia juga mengimbau para pencari keadilan agar tidak segan mengajukan keberatan hukum jika merasa haknya dilanggar dalam proses mediasi yang tidak sesuai ketentuan.
Redaksi jawapost
Untuk informasi dan berita terkini, kunjungi www.jawapostmews.co.id
