

Palangka Raya, jawapostnews.co.id – Kasus kaburnya seorang narapidana kasus asusila dari Lapas Kelas IIA Palangka Raya baru-baru ini menjadi tamparan keras terhadap sistem pemasyarakatan Indonesia. Kejadian ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan dan menjadi sorotan publik atas praktik-praktik yang selama ini ditengarai terjadi di dalam rutan.
Praktisi hukum sekaligus putra daerah Kalimantan Tengah, Dr. Ari Yunus Hendrawan, S.H., M.H., menegaskan bahwa ini bukan hanya soal satu narapidana yang kabur, tetapi kegagalan struktural dalam menjalankan tanggung jawab negara terhadap narapidana yang sedang dibina.
“Ini soal tanggung jawab. Negara mengambil alih peran pembinaan, maka setiap kelalaian adalah bentuk pengkhianatan terhadap mandat publik,” tegas Dr. Ari kepada jawapostnews.co.id.
Ia mengapresiasi langkah cepat Kanwil Ditjenpas Kalteng yang langsung menonaktifkan Kalapas dan Kepala Pengamanan Lapas (KPLP), namun menekankan bahwa itu baru langkah awal. Evaluasi menyeluruh, pembinaan ulang, dan penyelidikan internal yang transparan adalah keharusan.
Pungli dan Bebasnya Akses HP di Rutan Harus Jadi Prioritas Reformasi
Dr. Ari secara khusus menyoroti maraknya pungutan liar (pungli) dan bebasnya tahanan menggunakan HP di dalam rutan yang selama ini seakan menjadi rahasia umum. Ia menilai, hal ini membuktikan lemahnya kontrol dan lemahnya kepemimpinan struktural dalam sistem pemasyarakatan.
“Prioritas utama pembenahan lapas bukan hanya soal fisik atau pejabat, tapi juga membersihkan praktik pungli dan menindak tegas akses ilegal tahanan terhadap HP. Masa iya HP bisa dengan bebas digunakan oleh napi, bahkan seolah tak ada pengawasan?” ujarnya dengan nada kecewa.
Ia menyebut bahwa selama ini masyarakat tidak mendapatkan informasi yang transparan mengenai aturan siapa yang boleh menggunakan HP dan mengapa tahanan bisa bebas berkomunikasi dari dalam lapas. Ia meminta agar Kakanwil Ditjenpas Kalimantan Tengah tidak tutup mata dan segera menguraikan kepada publik secara terbuka soal ini.
Tamping: Perlu Kejelasan Aturan dan Dasar Hukumnya
Selain itu, Dr. Ari juga menyoroti soal praktik mempekerjakan narapidana sebagai “tamping” (tahanan pendamping) yang dinilainya perlu dikaji ulang dan diberi landasan hukum yang jelas. Menurutnya, masyarakat berhak tahu dasar hukum penunjukan tamping, apakah diatur dalam Perda, Permenkumham, atau SOP internal.
“Kita minta kejelasan, aturan tentang tamping itu dasar hukumnya Perda nomor berapa? Atau hanya keputusan sepihak internal? Jangan sampai aturan dibuat hanya berdasarkan selera oknum-oknum di dalam sistem,” kritiknya.
Ia menyarankan agar Kakanwil Pemasyarakatan bisa menguraikan secara detail kepada masyarakat dasar hukum, mekanisme seleksi, serta tanggung jawab tamping di dalam lapas. Karena menurutnya, hal ini penting agar tidak menjadi celah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan ketimpangan perlakuan antar napi.
Harapan Kepada Menteri dan Dirjen Pemasyarakatan
Dr. Ari juga berharap Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Jenderal Polisi (HOR) (Purn.) Drs. Agus Andrianto, S.H., M.H., dan Dirjen Pemasyarakatan, Drs. Mashudi benar-benar memilih pejabat Kalapas dan KPLP pengganti yang memiliki integritas tinggi, pengalaman lapangan, serta komitmen terhadap pelayanan publik.
“Penempatan pejabat bukan hanya soal jabatan struktural, tapi harus mampu merepresentasikan wajah keadilan hukum, terutama di Kalimantan Tengah,” katanya.
Ia juga meminta agar pemerintah tidak hanya berfokus pada “tembok tinggi” tapi juga “integritas tinggi” dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan.
UU Pemasyarakatan Harus Diterapkan Secara Tegas
Mengacu pada Pasal 3, 4, dan 82 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, Dr. Ari menyatakan bahwa negara wajib menjamin fungsi pengamanan, pengayoman, dan pembinaan terhadap warga binaan. Ketika satu fungsi ini runtuh, maka negara harus hadir secara tegas dan bertanggung jawab.
“Menonaktifkan pejabat bukan hukuman, tapi prasyarat menuju perbaikan. Kita tak bisa bangun kepercayaan tanpa transparansi dan pengakuan atas kelalaian,” tegasnya.
Masyarakat Harus Dilibatkan, Jangan Jadi Penonton
Terakhir, sebagai tokoh muda Dayak dan praktisi hukum, Dr. Ari mengajak seluruh elemen masyarakat Kalimantan Tengah untuk turut mengawal pembenahan Lapas Palangka Raya dan tidak hanya menjadi penonton.
“Kita kecewa, iya. Tapi dari kekecewaan itu harus lahir semangat baru untuk membenahi. Jangan biarkan sistem rusak dibiarkan tanpa perlawanan moral dari masyarakat,” katanya.
“Kalau kita gagal menjaga yang sudah jatuh, maka kita sendiri akan ikut tumbang. Ini waktunya membangun sistem yang adil dan bersih,” pungkasnya.
Penulis: irawatie
📰 Baca berita lengkap dan perkembangan terbaru hanya di jawapostnews.co.id
📌 Redaksi | jawapostnews.co.id – Tegas, Tajam, dan Terpercaya
