

Jakarta, Jawapostnews.co.id – Dalam praktik peradilan perdata di Indonesia, penyelesaian perkara kerap kali membutuhkan waktu panjang dan biaya tidak sedikit. Gugatan biasa, baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dapat memakan waktu hingga satu tahun hanya untuk memperoleh putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri. Proses panjang itu disebabkan oleh tahapan persidangan yang kompleks, mulai dari pemanggilan para pihak, mediasi, pembacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, hingga putusan. Belum lagi jika para pihak menempuh upaya hukum banding, kasasi, bahkan peninjauan kembali.
Melihat kondisi tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) berupaya menghadirkan jalur hukum alternatif yang lebih cepat dan efisien. Atas dasar asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, MA menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang kemudian diperbarui melalui Perma No. 4 Tahun 2019. Regulasi ini membuka akses yang lebih luas bagi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam perkara perdata bernilai relatif kecil, tanpa harus melalui proses panjang yang melelahkan.
Karakteristik Gugatan Sederhana
Menurut praktisi hukum sekaligus mediator non-hakim, Adam Maulana, S.H., CPM, gugatan sederhana pada dasarnya merupakan jalan pintas yang sah secara hukum untuk menyelesaikan perkara perdata dengan cepat. Namun, terdapat syarat dan batasan yang harus diperhatikan para pihak yang ingin mengajukan.
Pertama, gugatan sederhana hanya berlaku untuk perkara wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dengan nilai materiil paling banyak Rp500 juta. Kedua, para pihak dalam perkara ini terbatas pada satu penggugat dan satu tergugat, kecuali terdapat kepentingan hukum yang sama, seperti dalam kasus perjanjian kredit antara suami-istri. Ketiga, penggugat dan tergugat harus memiliki domisili hukum yang sama serta alamat jelas, sehingga tidak dapat dilakukan pemanggilan melalui media massa. Keempat, gugatan sederhana tidak bisa diterapkan pada sengketa hak atas tanah maupun perkara yang menjadi kewenangan pengadilan khusus.
“Melalui mekanisme ini, masyarakat bisa menghindari kerumitan panjang persidangan perdata biasa. Gugatan sederhana memberikan kepastian waktu dan efisiensi biaya tanpa mengurangi esensi keadilan,” ujar Adam.
Proses Singkat, Putusan Maksimal 25 Hari
Keunggulan utama gugatan sederhana terletak pada jangka waktu penyelesaiannya. Sejak sidang pertama, perkara ini harus diputus paling lambat 25 hari kalender. Hal ini jelas kontras dengan gugatan biasa yang bisa berlarut-larut hingga berbulan-bulan.
Meski sederhana, para pihak tetap diberikan ruang untuk mengajukan upaya hukum keberatan apabila tidak puas dengan putusan hakim. Keberatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang sama dalam waktu 7 hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan. Jika keberatan ditolak dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak yang menang dapat segera mengajukan permohonan eksekusi. Ketua Pengadilan wajib menerbitkan penetapan aanmaning (peringatan eksekusi) paling lambat 7 hari setelah permohonan diterima. Proses eksekusi selanjutnya mengikuti hukum acara perdata yang berlaku.
Solusi Nyata bagi Masyarakat
Dengan adanya aturan ini, penyelesaian perkara perdata menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat kecil maupun pelaku usaha yang membutuhkan kepastian hukum dalam waktu singkat. Gugatan sederhana diyakini dapat mengurangi penumpukan perkara di pengadilan, sekaligus menghadirkan wajah peradilan yang lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“Keberadaan gugatan sederhana adalah bukti nyata keseriusan Mahkamah Agung untuk menghadirkan peradilan yang humanis. Ini solusi tepat bagi mereka yang sering mengeluhkan lamanya proses pengadilan,” tambah Adam.
Langkah terobosan MA ini disambut baik oleh kalangan advokat, mediator, dan akademisi hukum, karena sejalan dengan prinsip dasar peradilan: sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Oleh : Adam Maulana, S.H., CPM. Advokat dan Mediator Non Hakim
Editor: Ismail
